Perang Diponegoro
Pangeran Diponegoro, menurut Babad
Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia
sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang
sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari
diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo
(Djaelani 1999). Diponegoro dalam memimpin perangnya senantiasa diwarnai oleh
ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di dalam daerah
kekuasaannya. Sebagai penasehat keagamaan Dipenogoro memilih Kiai Mojo seorang
ulama terkenal dari Mojo Solo, selain penasehat, Kiai Mojo juga memimpin
pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo.
Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja
Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin dipersempit. Daendels
menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi
diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan
duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan. Raffles juga
meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan keraton. Kondisi seperti itu
menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidaksenangan di antara beberapa golongan
bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat
tindakan Belanda tersebut. Tambahan lagi setelah kebiasaan minum-minuman keras
beredar di kalangan kaum bangsawan atau rakyat umum, kekhawatiran dan
kekecewaan di kalangan golongan agama di istana makin meningkat (Johan 2014).
Pengaruh Pangeran Diponegoro sebagai putera Sultan
Hamegkubuwono III begitu besar, apalagi ketika menjadi wali Sultan HB V yang
saat itu baru berusia 3 tahun membuat Belanda menyesal memilih beliau sebagai
wali Sultan dan dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan Belanda sehingga
pemerintahan diserahkan kepada Patih Danurejo dan di bawah kekuasaan residen.
Kebijaksanaan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro adalah perbuatan residen
dan patih yang selalu mengambil keputusan-keputusan dengan tidak dirundingkan
terlebih dahulu dengan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi. Misalnya, mengangkat
seorang penghulu itu adalah hak Sultan. Tetapi waktu penghulu Rachmanudin
berhenti lantaran berbeda pendapat dengan patih, maka residen dan patih
mengangkat penggantinya tidak dengan persetujuan para wali. Pangeran Diponegoro
menganggap pengangkatan itu tidak sah. Sekali peristiwa Pangeran Diponegoro
diperlakukan tidak pantas oleh dua orang pegawai Belanda, dalam pesta di rumah
patih. Beliau terus meninggalkan perayaan tersebut, lalu mengasingkan diri di
Tegalrejo (Johan 2014). Pada waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan
dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap
keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro menentangnya. Penentangan tersebut
mengakibatkan pasukan Belanda mnyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada
tanggal 25 Juli 1825 berkobarlah perlawanan Dipenogoro. Setelah pertempuran di
Tegalrejo ini, Diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar
15 km sebelah barat daya kota Yogyakarta, guna mengatur siasat perang
selanjutnya. Keluarga Pangeran Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) .
Kabar mengenai meletusnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke
berbagai daerah. Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya,
banyak yang segera datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para
ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro.
Daerah-daerah lain juga menyambut perlawanan Diponegoro dengan melakukan
perlawanan terhadap Belanda.
Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro. Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan. Pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera menghentikan perlawanan dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan Culturstelsel. Di samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika Diponegoro sampai lepas kembali. Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15.000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali.
Sumber:www.gurusejarah.com
Posting Komentar