Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II
yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna
melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan
telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan
sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang
jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini
berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah
republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang
sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur,
Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi
Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di
wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna
melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap
resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar
Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan
untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutarbalikkan
propaganda Belanda.
ujuan utama
dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi. TNI dan dengan
demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia
internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI,
wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira
yang berseragam TNI.
Setelah
dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh
Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler"
terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh,
bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan
penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai
sasaran utama adalah:
- Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
- Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Jogjakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
- Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu
sejak dikeluarkan Perintah siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III,
untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan
beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat
dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu,
sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur
Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat
dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik.
Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh
rakyat.
Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta
diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari
kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat
seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya
hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang -
Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di
wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima
Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah
Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan
operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan
Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani,
diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke
yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan
perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang
hari, untuk menghindari patroli Belanda Penunjuk jalan juga selalu berganti di
setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui
pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III
Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir diPengasih, tempat
kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di
dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm.Bambang
Sugeng yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto
berlangsung di Brosot, dekat Wates . Semula pertemuan akan dilakukan di dalam
satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan
dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut
lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng,
Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron
Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan.
Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal
25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian,
setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol.
Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua
persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau
25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949,
pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
Puncak serangan
dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada
tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade
10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tepatnya pada
tanggal 1 Maret 1949 di pagi hari, dimulailah serangan besar-besaran dengan
fokus utama adalah ibu kota Indonesia saat itu yaitu Yogyakarta. Selain itu
serangan juga dilakukan dibeberapa kota lain seperti Solo, dan Magelang dengan
tujuan untuk menghambat bantuan tentara Belanda. Pusat komando saat itu
ditempatkan di Desa Muto. Tepat pada pukul 6 pagi, sirine dibunyikan dan serang
dilakukan ke seluruh penjuru kota. Serangan tersebut dibagi menjadi 5 sektor
yaitu:
- Kota dipimpin oleh Letnan Marsudi.
- Barat dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual
- Utara dipimpin oleh Mayor Kusno
- Selatan dipimpin oleh Mayor Sarjono
- Timur dipimpin oleh Mayor Sarjono
Kerugian Di
Kedua Belah Pihak Serangan Umum 1 Maret
Pihak Belanda 6
orang tewas dan 14 orang luka-luka, sementara di pihak Indonesia tercatat 300
prajurit gugur, 53 polisi gugur, dan jumlah rakyat yang ikut gugur tidak bisa
dihitung secara pasti. Sementara itu, menurut media Belanda, korban dari pihak
mereka selama bulan maret adalah 200 orang tewas dan luka-luka.
Arti Penting
Serangan Umum 1 Maret 1949
- Menunjukkan kepada dunia internasional keberadaan pemerintah dan TNI masih kuat dan solid
- Dukungan terhadap perundingan/diplomasi yang berlangsung di PBB
- Meningkatkan moral bangsa Indonesia
- Meruntuhkan mental pasukan Belanda
- Mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia
Posting Komentar